Menghargai Akal





“Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantar kepada kejahatan dan kejahatan akan membawa ke neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berusaha berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta” (HR. Bukhari dan Muslim).

Adakah yang mau menukar akal sehat dengan emas sebesar gunung? Tentunya tak (akan) ada yang mau (melakukannya). Sebab, begitu nikmat memiliki akal sehat. Bila hilang akal, hidup sama sekali tiada bererti, meskipun memiliki banyak harta. Karena itu, wajar banyak yang mau menghabiskan sebanyak apapun hartanya, untuk mengobati anak atau orang tuanya yang hilang akalnya. Dengan demikian, akal jauh lebih berharga ketimbang segunung emas. Namun anehnya, banyak yang tak mau menggunakan akal sehat untuk memikirkan petunjuk Allah ketika sedang mengejar harta seharga hanya segenggam emas.

Bila diakui, orang-orang yang berbuat demikian bisa dikatakan sudah tak mau menghargai akal sehatnya sebagai anugerah Allah yang sangat berharga, ketika terbujuk hawa nafsu. Padahal kalau terus-menerus tak digunakan, akal sehat beresiko dicabut oleh Sang Pencipta. Kalaupun tidak sepenuhnya dicabut, akan dicabut sebahagiannya, seperempatnya, seperdelapannya, atau dalam jumlah lain. Pencabutan inilah yang tak sepenuhnya disadari, sehingga dianggap normal-normal saja.

Bila disadari, banyak pelaku kejahatan sudah tak lagi memiliki akal sehat. Misalnya, tak lagi timbul kesadaran akan besarnya dosa ketika melakukan suatu kejahatan, meskipun dilakukan secara terang-terangan. Ketika ditangkap karena kejahatannya dan ditonton banyak orang, banyak yang tersenyum seakan itu hal yang biasa. Bahkan tak sadar bila sedang mengantar diri ke neraka. Bukankah ini pertanda hilangnya (sekian persen) akal?


Serambi Indonesia/-

Artikel Terkait